Broken




Sebenarnya aku tidak ingin.


Sungguh ini adalah sebuah kesengajaan. Kesengajaan yang memaksa. Aku tau persis bagaimana hatiku nantinya. Kembali adalah mengundang rasa patah dengan sengaja. Dan bagaimanapun, aku sudah lebih dari jera untuk sekedar menghafal rasanya.


Siang ini pukul dua lebih tujuh belas menit.


Sudah ketiga kalinya aku melirik arloji di pergelangan tangan, membangkitkan gundahku sendiri.


Dua gelas masih utuh isinya, dua duanya jus strawberry. Kecut, seperti kenyataan yang harus kutelan bulat bulat.


Dua menit berlalu.


Aku belum mencium tanda tanda apapun, semisal bau parfum atau gesekan jemari dengan plastik pembungkus bunga mawar, sama sekali tak ada.


Tiga menit terlewati.


Hanya bisa menghela napas panjang, kalut.


Dia tak datang?


Kutekan lima digit nomor di keyboard ponsel. Menempelkannya pada telinga, harap harap cemas...



Tak diangkat.


Kucoba kembali.


Tak ada jawaban.

Hingga kuberondong kontak wa, bbm, line serta dm ig.


Tak terlihat apapun.



Aku mau putus asa.


Air mataku putus satu satu meninggalkan kelenjar.


Menghapus riasanku, menuju bibir, menghapus goresan gincuku, berakhir pada dagu, melorot ke leher..


"Bim, aku merindukanmu"


Dua lebih tiga puluh menit.


Cepat kuteguk satu gelas jus strawberry, menghapus segala macam lipstik dari bibirku.


"Na"


Kurasakan dingin di pundakku.

Aku mendongak.

"Sedang apa? merayakan hari ke dua puluh tujuh?"

Aku menangguk menjawab pertanyaannya.


Dia memelukku.


Erat sekali.


"Na, ayo kita pulang"


Dia masih memeluk, membasahi pundakku dengan air mata.


"Na, Bima udah nggak ada. Ayo Na sadarlah, kamu harus rela akan semuanya"


Aku membiarkan gadis ini terus memelukku, namun menyangkal kalimatnya. Semua kalimat milik orang orang keparat itu yang mengatakan bahwa kekasihku telah tiada.


Aku mau merayakan hari ke dua puluh tujuh, hari jadi kita.. Bima.


-

Komentar

Postingan Populer