Wisuda






Hari ini aku datang pada wisudamu.


Seperti mau terbang jantungku mendapati senyummu yang tak lepas, sumringah penuh kelegaan setelah empat tahun menanti dengan penuh air mata dan rasa lelah.


Kucoba menenangkan hatiku sendiri karena berjalan menuju arahmu bukan hal yang cukup mudah, aku harus menguatkan semuanya agar keberanian yang sudah kubangun jauh jauh hari tak gugur dengan percuma.


Aku bahkan ingat jengkal tanah yang saat ini kuinjak, pernah aku berada di sini bersamamu saat pertama kali kau datang di tempat ini dengan langkah bak seorang penjahat perang yang memenangkan delapan pertempuran maha besar. Kau genggam kemenangan itu erat erat dalam jemarimu yang saat itu teguh mengunciku.



Hari itu, seminggu saat kau dinyatakan lulus tanpa tes. Hari dimana seminggu sebelumnya kau memelukku sekaligus menangisi akan sebuah jarak yang tak bisa ditentang.


Hari itu aku mengantarmu daftar ulang seharian.


Saat kau menyelesaikan urusan dengan wajah begitu mendung dan kemudian kuraih tanganmu dan mengatakan bahwa ‘semuanya akan baik baik saja’.



“Aku nggak ngerti kalo misalnya kangen trus kita engga bisa saling video call karena beda waktu, aku harus gimana?” katamu kala itu. Menunduk lesu, melupakan kebahagiaannya yang baru saja ia banggakan.


“Kalo kamu sibuk kuliah di sana terus kecantol orang sana sementara di sini aku sibuk bedah jantung.. Gimana?” lagi lagi kau mengeluh, seolah menyalahkan keadaan.


Aku tertawa mendengar rengekannya.


“Kamu pikir aku segenit apa?” aku bertanya balik, mengelus pelan jambulmu dan mentoel pipimu yang cemberut. Aku percaya bahwa kau tidak akan dilemahkan oleh jarak.



“Ya kan bule ganteng ganteng” katamu, penuh kepasrahan.


Aku tertawa lagi.


“Ya kan aku sukanya sama kamu” jawabku pasti.

Hari itu adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di kampusmu.


Dan aku sempat berfikir bahwa itu adalah hari yang terakhir pula.


Karena setelah itu kita harus terpisah Malang-Moskow, selama empat tahun.

Atau kurang.

Aku tidak pernah berjanji untuk sekedar menengok rumah selama masa studiku, dan itu membuatmu semakin yakin untuk mengumpulkan alasan –melepaskan-.

Bagiku, pulang adalah mengurangi biaya hidup di sana. Pulang adalah mengorbankan beberapa persen anggaran beasiswa yang kudapat. Walaupun mungkin aku bisa pulang satu kali, saat peralihan semester empat ke lima.


Mungkin aku bisa pulang, dengan sisa tabungan yang kukumpulkan setiap bulannya setelah dikurangi biaya ini itu.


Aku bisa pulang sebelum wisudamu sebenarnya.

Namun ingatkah kamu pada malam itu?


Terseduh udara dingin Moskow , dari puncak sebuah kedai kopi langgananku aku membaca sebuah email dengan mata basah.


'Maaf, kita tidak bisa lagi bersama sama'

Malam itu tak ada pertengkaran, malam itu aku tak menuntut penjelasan apapun. Mungkin memang ini buntut dari kekecewaan yang kau tahan selama dua tahun lamanya.


Malam itu, dingin seolah membekukan sekeping hatiku yang patah.

Malam itu, aku membuang jauh jauh pikiran untuk pulang.


Menghempaskan bayangan wajahmu yang mengakar dalam ingatan, aku membuang segalanya karena lebih dari paham bahwa untuk terus bertahan di sini aku membutuhkan hati yang kuat.

Malam itu, tak ada lagi puisi diam diam kutulis  untukmu.

Terlepas dari malam itu, tak kusangka aku menemuimu kembali. Dua tahun setelahnya.


Setelah lebih dari enam bulan aku menyelesaikan masa studi, kau mengabariku untuk datang.

Memintaku untuk sekedar melengkapi bahagiamu, atau seluruh bahagiamu.
.
Kebahagiaan karena sebentar lagi akan disumpah profesi, memegang amanah sebagai dokter muda.



Dan hari ini, ingatan tentang semua itu lantas berseliweran di jalan yang kulalui.


Sebucket mawar kuning di pelukanku, sekotak hadiah yang khusus kubeli di Moskow kudekap erat.


Berjalan ke arahmu, aku harus menguatkan diri.


Berjalan ke arahmu, aku harus siap dikenalkan dengan seseorang bergaun merah muda di sebelahmu dengan kalimat “Sayang, ini sahabatku yang sering kuceritakan. Jauh jauh datang dari Moskow demi menghadiri wisudaku”


-

Malang
11.40 Tuesday 18 July 2017




Komentar

Postingan Populer