Pasar Malam Galaksi



Malam menelan purnama. Malam ini angin kubiarkan masuk, aku ingin bermanja dengan dingin yang merambat naik, menggerakkan anak anak rambutnya yang dibiarkan tak terbaui pisau cukur.



Sudah kesekian kali aku tak mengecup dahinya yang hangat. Pagi ini aku menerobos kabut demi menemuinya, menemani ia memeluk bantal bantal berbau lavender yang sempat kubelikan bulan lalu. 



Ada daya magis pada caranya terlelap, seperti mengentaskan seluruh lelahku.


Malam ini, aku datang tanpa memberi tahu. Menerobos tanpa permisi, memasuki kamar kami yang bersinar temaram oleh lampu tidur yang tak diganti sejak kami meemutuskan untuk tinggal bersama dua tahun yang lalu. Aku bukan tidak tau dia pasti sudah tertidur, aku hanya menyukai caraku diam diam menyelinap kemudian ikut tidur di sampingnya.



Dua minggu lamanya kami tidak bertemu, malam ini dinding rinduku jebol.


Kututup jendela, kuawali tidurku dengan mengucap lirih di depan wajahnya yang teduh ‘Selamat malam, Tuan. Aku mencintaimu’.
-
Kalian mungkin tidak akan mengerti mengapa aku begitu mencintai lelaki dengan dagu penuh rambut ini. Dibalik penampilannya yang dingin, dia menyimpan banyak teka teki yang tak dapat kupecahkan sendirian. Termasuk saat dia menyodori secangkir kopi dengan gulungan kertas yang ia selipkan di gagangnya.


“Kamu mau ngajakin saya?”


Dia mengangguk, tanpa menjelaskan sepatah kata pun.


Ini bukan pertama kalinya dia mengajak keluar walaupun weekend seharusnya adalah waktu istirahat. Terpisah di banyak macam jarak tidak lantas menjadikan rumah sebagai basecamp. Dia selalu dapat menjadikanku terkesan dengan cara caranya membungkus bahagia, mengajakku ke tempat tempat tak terduga.


“Kamu pasti suka deh” katanya sembari mengerlingkan mata.


Aku mengangguk, membalasnya dengan menyandarkan kepala pada pundaknya.


Pagi kami amat sederhana. Kopi, remah remah biskuit sisa sajian kedai dan sebuah rindu yang saling diungkap adalah paket lengkap untuk menjadi alasan kami terus bersama. Meski aku harus meninggalkan lelaki ini hampir setiap hari mendingin dengan gerusan biji biji kopi di kedai kecil kami. Meski kami hanya bisa bersua setiap dua minggu sekali. Meskipun aku hanya bisa menyisihkan sedikit waktu untuknya yang rela mencintaiku sepanjang sisa hidup.
-
Pendar pendar cahaya seperti memasukkan roh lain pada tubuhku. Warna warni gula kapas bergelantungan di sana sini. Wangi kue pancong, suara es yang digosok hingga halus dan juga bunyi ‘pletak’ oleh bola bundar yang dilempar seseorang kutangkap dengan amat jeli.


Aku masih menyandarkan kepala pada pundaknya. Meresapi hangat, memanjakan rasa syukurku. 


Aku seperti merasakan kehadiran sosok lain dalam tubuh lelakiku. Seolah, seperti merapatkan diri pada sosok yang hanya bisa kutemui setahun sekali. Bapak.


“Terimakasih Mas, aku bahagia sekali” kataku tepat saat dia menggulirkan tatapan matanya.


Kami berdiri mematung di depan benda besar yang berputar putar di depan kami, kami bagai sepasang orang tua yang sedang menunggui anaknya.


Mungkin ini memang yang aku butuhkan di ujung lelah. Mengenang Bapak.


Bapak yang jarang jarang mengajakku keluar rumah untuk memenuhi rasa penasaranku pada benda yang berputar di sini, komidi putar.


Pasar malam adalah satu satunya tempat paling bercahaya yang mendamaikan masa kecilku yang sunyi. Pasar malam adalah puncak dari rengekanku pada Bapak. Perlu waktu berhari hari untuk membujuk Bapak agar membawaku ke pasar malam. Perlu banyak air mata dan kesabaran menelan janji dari Bapak ‘Nanti ya Ndhuk kalo Bapak ada uang’.


Pasar malam adalah satu satunya tempat membahagiakan yang diberikan Bapak untukku. Bapak yang tak mampu menyanggupi permintaanku yang lain, menikmati kotak kecil warna warni di ruangan tengah misalnya. Bapak yang hanya menjadikan purnama sebagai hiburan sebelum waktu tidur menjelang. Bapak yang setiap pulang ladang hanya mampu memetikkan beberapa buah jambu yang entah dari mana beliau dapatkan.


Pasar malam adalah tempat paling tepat untuk mengenang Bapak.


Pun, setelah Bapak mampu mengajakku ke pasar malam beliau tidak melakukan apa apa selain menatap takut akan banyak dagangan yang dijajakan. Bapak yang bilang ‘Kamu engga boleh makan aneh aneh, nanti batuk’ yang kutafsirkan sebagai ekspresi rasa sayang. Namun lambat laun aku lebih dari paham bahwa itu berarti ‘Jangan jajan macam macam ya sayang, Bapak tidak memiliki cukup uang’.



Tidak apa apa, Bapak. Aku sudah bahagia dapat menikmati cahaya dengan tangan Bapak yang menggandengku erat. Penuh kasih sayang.


‘Bapak’ dalam keseruan menikmati gula kapas yang beliau sempat belikan setelah menimbang nimbang uang di kantongnya yang tipis, aku memanggil beliau.


‘Itu seperti gambar di bukuku ya Pak’ kutunjuk benda besar yang sedang ditunggangi banyak orang. Berputar, naik turun. Semua manusia di sana terlihat sangat bahagia, tertawa tawa.


‘Iya Ndhuk, itu komidi putar’ jawab Bapak, bersiap untuk menggandeng tanganku kembali.


‘Asyik ya Pak kelihatannya’ kataku, dalam hati aku iri sekali dengan manusia manusia berwajah tanpa sendu yang ada di sana. Aku ingin tertular bahagia karena komidi putar.


‘Jangan Ndhuk, nanti pusing. Muter muter itu ndak enak’


Aku menunduk, menahan kecewa yang membuncah.


‘Besok saja muter muter desa pake sepeda Bapak, lebih seru’ kata Bapak menghibur. Mencubit pelan pipiku, mengelap sisi bibirku yang belepotan gula kapas.


‘Yang bener Pak?’ aku mendadak lebih bahagia mendengar janji Bapak.


‘Iya Ndhuk’ Bapak menggandeng tanganku untuk menjauh dari komidi putar.


Malam itu aku tidak bisa melupakan senyum dan tawa yang dicipta komidi putar yang kutinggalkan.


Tapi aku juga tidak bisa melupakan keresahan dari raut wajah Bapak.


Aku tidak bisa mengenyahkan ingatan tentang tangannya yang gemetar ketika membayar dua gula kapas kami.


Bapak takut uangnya kurang. Bapak takut aku meminta lebih dari dua warna gula kapas. Bapak juga takut aku merengek minta dibelikan boneka pasar malam yang lucu lucu. Bapak takut tidak bisa membawaku pulang dengan menyewa ojek yang baginya itu cukup mahal.



Malam itu, kami pulang dengan ingatan komidi putar yang tak lepas menari nari di pikiranku.




Sementara malam ini, seorang lelaki yang jarang bisa aku temui membawaku mengenang Bapak.
Menemaniku saat pipiku becek dengan air mata. Menghadiahiku malam yang berderang oleh cahaya pasar malam.


“Maaf ya membuatmu menangis” bisiknya.


Aku menggeleng pelan “Aku seperti menggandeng jemari Bapak, Mas” kataku.


“Jadi, mau naik komidi putar? Atau mau menyewa semalaman?” tawarnya.


Aku menggeleng kembali.


“Kita di sini saja Mas, menikmati gula kapas sambil banyak mendoakan untuk Bapak”


Lelaki ini, sama hangatnya dengan Bapak.


Teduh, mendamaikan, dengan cara cara yang sederhana sekalipun.


Baturetno
Tuesday 09.22 11 July 2017

Komentar

Postingan Populer