My Idiot Girlfriend
Harus kukatakan bahwa
aku sebenarnya tidak atau belum sepenuhnya mencintai dia, pacarku.
Aku tidak ingat mengapa bisa berpacaran dengan gadis ini. Semakin lama bersamanya, aku merasa bahwa dia semakin tidak menarik. Usianya sebaya denganku, dua puluh tahun. Bagiku itu adalah usia yang cukup untuk sekedar mencoba mengusapkan riasan pada wajahnya yang bulat. Tapi dia tidak pernah melakukannya selain menorehkan bubuk bubuk putih aroma strawberry, bedak bayi yang biasa dibeli di toko kelontong dengan harga murah,
Jangan bayangkan pacarku memiliki badan yang bagus.
Aku memiliki beberapa pacar sebelumnya, dan pacarku saat inilah yang terburuk. Dia berbobot mendekati enam puluh lima kilogram dengan tinggi badan tak lebih dari seratus lima puluh lima sentimeter. Kulitnya kecoklatan, sering terlihat ‘keling’ ketika tertimpa sinar matahari. Setidaknya aku melihat dari punggung tangannya yang tidak tertutup kain.
Jangan katakan bahwa aku banyak mencelanya di sini.
Selain dia tidak cukup cantik dengan hidung tenggelam pada kedua pipinya yang padat berisi, dia juga tidak bisa apa apa. Olahraga dia payah, akademiknya pas pasan, apalagi kemampuan publik speakingnya yang parah. Pernah suatu ketika dia ditertawakan semua peserta ospek gara gara mendadak cadel saat menyebutkan namanya di panggung, dia menceritakan hal konyol itu di depanku dengan mata yang basah dengan air mata.
Aku tidakmau menceritakan dimana kita pertama kali bertemu, yang jelas kita berbeda fakultas meski bernaung di satu universitas yang sama.
Pernah pada suatu sore aku mengajaknya keluar.
Dia datang ke rumahku dengan wajah berseri seri. Memamerkan senyumnya yang nyaris membuat mata sipitnya menghilang terhimpit lemak di pipi. Aku hampir sangat memarahinya demi melihat gaya berpakaiannya yang sangat tidak sesuai. Bagaimana tidak? Dia memakai celana jins ketat warna ungu dipadukan dengan baju monokrom warna biru dengan kerudung motif bunga bunga dominan warna kuning yang mencolok. Rasanya mataku begitu sakit ketika melihat tambahan bros kupu kupu yang mengaitkan kerudungnya yang lebar.
“Kamu yakin mau keluar dengan dandanan seperti ini?” tanyaku dengan menahan amarah yang siap meledak. Ini bukan pertama kalinya dia gagal total dalam berbusana, sudah berkali kali malah.
“Iya, kenapa memang?” masih dengan senyuman dia menjawab pertanyaannku. Menahan geram, ingin sekali kugulung kerudungnya untuk kuganti dengan taplak meja di ruang tamuku agar lebih cocok dengan baju dan bawahannya.
“Siapa yang ngajarin kamu dandan seperti ini?”
Dia diam, berfikir dengan ekspresi sedang menggagas rumus fisika yang hilang.
“Kamu enggak malu dengan pakaian seperti itu?” tanyaku lagi.
Dia menggeleng dengan percaya diri.
“Sebenarnya yang baru tuh sepatuku, Sayang. Aku pake baju yang lama biar kalo ada orang lewat yang liatin aku, fokus ke sepatuku”
Kulirik sepatunya, astaga! Nike warna orange menyala.
Menepuk jidatku, sudah kuputuskan unuk mengusirnya dengan menutup pintu.
“Lagi pula kita cuma mau jalan ke mall kan? Aku pake pakaian kayak gini biar kelihatan casual aja” katanya sambil terus cengengesan.
Casual? Casual atau gembel?.
Akhirnya di sore itu aku benar benar keluar dengannya. Memang aku tak punya banyak kesempatan untuk membawanya mengisi waktu karena aku sendiri memang jarang memiliki waktu. Dia sendiri tidak mempermasalahkan itu, dia menikmati apa apa yang kuberi.
Lagi, pacarku memiliki selera yang buruk untuk barang barang yang ia miliki.
Jika perempuan lain akan merengek rengek untuk sebuah boneka beruang sebesar tubuhnya, dia malah menunjuk sebuah boneka kodok bermuka ‘cemen’ dengan lidahnya yang terjulur sedang menangkap lalat. Dia bilang dia suka fairy tale, cerita tentang pangeran yang dikutuk menjadi kodok kemudian hidup bahagia dengan gadis yang menangisinya semalaman.
“Lucu kan? Besok aku juga mau cari kodok beneran deh. Pasti lucu kalo diwadahin akuarium, sama si Tobby”
Aku tercekat, mematung pada erat nya dia memegang lenganku. Tobby adalah ikan cantik jenis cupang yang kubelikan sebulan yang lalu. Sebenarnya ada sepasang, yang satu bernama Timmy. Namun Timmy mati saat akuarium pertama pecah oleh ulah Do, kucing di rumahnya yang nakal.
Bisa bisa Tobby lenyap juga dimakan kodok yang mau dia beli.
Tak kusangka di sore yang amat sial itu, aku bertemu seseorang. Dia berjalan sendirian dengan menenteng banyak kresek belanjaan. Aku mengenalinya dari setelan hot pants jeans birunya dan atasan berwarna merah muda yang manis. Sebelum kami benar benar berpapasan, gadis itu meneriakkan namaku:
“Alto!”
Mau tak mau aku menoleh, diikuti dengan arah mata pacarku. Dia melirik tak suka saat gadis ini berjalan menuju kami dan perlahan mengulurkan tangannya dengan basa basi standar “Hay, apa kabar?”
Kusambut dengan hati hati “Kabar baik, kamu gimana?”
“Baik banget” jawabnya dengan mengalihkan pandangan ke sebelah kiriku. Pacarku kulihat tersenyum, lalu mengangguk.
“Ini?” Riana, gadis di depanku ini seolah bertanya dengan jari telunjuk mengarah pada jantung pacarku yang sedang melumerkan bibirnya dengan senyuman.
“Hmm, pacarku” kataku ragu ragu dan mulai mengenalkan mereka berdua. Pacarku membuka mulut, mengucapkan namanya dan kemudia menjabat erat jari jari kecil Riana hingga dia terlihat kesakitan.
Tak habis Riana terserang kaget, mungkin masih belum percaya jika manusia di sampingku ini adalah penggantinya setelah lebih dari setahun kami berpisah.
“Oke byee, have fun yaa” Riana berlalu, diikuti oleh lambaian tangan besar pacarku yang berteriak lebih lantang “Byeeeeeee”.
“Kamu jangan terlalu kenceng gandengnya” protesku setelah hampir mati karena sesak napas. Dia tertawa kemudian, menepuk pundakku dengan keras.
“Kamu laper, yuk makan”
Satu lagi, pacarku ini adalah predator ‘kulit ayam’ yang brutal.
Aku tidak pernah bisa menikmati kulit ayamku sendiri saat bersamanya, tidak pernah.
-
Setiap satu bulan sekali, kami berdua pergi ke Surabaya.
Menjenguk Mama yang sendirian di kedai mungilnya.
Ketika kami sampai, Mama pasti sedang mengaduk adonan untuk cupcake cupcakenya yang lucu.
Aku suka cupcake buatan Mama, tapi Mama bilang: “Di dunia ini, cupcake paling enak yang pernah Mama rasakan adalah cupcake buatan pacarmu”
Ketika aku datang bersama pacarku, maka aku akan diperlakukan layaknya anak tiri. Sedangkan pacarkulah yang seolah menjadi anak kandung Mama.
Mama bilang, pacarku calon istri yang sangat ideal.
“Dia itu, masak bisa, menjaga anak bisa, ibadahnya rajin, ngajinya engga ukuran. Kamu mau yang seperti apa lagi? Mama sudah cocok sama dia”
Aku hanya menghela napas pelan, sebuah kepasrahan.
“Dan satu lagi, tatapan matanya mengisyaratkan ketulusan yang dalam”
Sejak Papa meninggalkan kami hampir tiga belas tahun yang lalu, satu satunya manusia yang berhak aku bahagiakan adalah Mama. Mama tidak pernah menyerahkan tanggung jawab untuk mengurusiku ke tangan orang lain. Mama setiap hari mengantar jemputku ke sekolah. Mama yang mengantarkanku les piano, bermain basket, mengerjakan kalkulus. Mama yang mengajariku semuanya hingga ke kalimat paling sederhana seperti ‘Jangan pernah menyakiti wanita ya Le*, karena Mama juga seorang wanita’.
Pun, semenjak Papa meninggalkan kami.
Mama sering menceritakan bahwa Papa adalah manusia yang paling menghargai Mama. Kata Mama, Papa idak pernah sekalipun membuat Mama kecewa. Setiap saat Mama selalu bersyukur memiliki Papa dan kemudian memiliku sebagai semangat hidupnya.
“Papamu adalah manusia yang paling tulus, Le”
Iya, Mama telah kehilangan daya kakinya. Mama cacat bawaan. Namun entah Papa tidak pernah melihat sisi kelemahan Mama, hingga akhirnya Papa yang cemerlang menikahi Mama walaupun Mama tidak sempurna. Papa tidak pernah mengeluhkan keadaan Mama yang seluruh hiidupnya bergantung pada kursi roda. Mungkin aku mewarisi otak Papa yang jenius, tetapi dari Mama aku belajar banyak jenis ketulusan.
“Itulah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, Le. Semua orang bisa hidup hebat, mengejar kekayaan, mengejar keduniawian, semua orang bisa berusaha untuk hidup mewah. Namun tidak semua manusia di dunia ini memiliki kemampuan untuk melihat ketulusan orang lain” kata Mama.
Aku menunduk malu.
“Apa artinya hal hal yang bisa rusak di dunia ini, Le? Kecantikan, kepintaran, kemegahan, ketenaran.. semua itu jika Tuhan cabut, akan tidak ada artinya lagi. Berbeda dengan ketulusan hati, dia akan mendamaikanmu. Mengubah kacamatamu dalam memandang dunia”
Lagi, Mama membuatku menitikkan air di sudut mata.
“Ketulusan itu terletak di sini, Le. Deep down, inside” Mama meletakkan lima jarinya yang telah berkerut di sisi hatiku.
Aku tidak kuasa menahan gemuruh yang seolah merontokkan tulamg tulangku.
Kupeluk tubuh Mama, kupeluk walaupun nanti kemejaku akan kotor oleh tepung.
“Terimakasih, Ma” kataku pelan sekali.
Kami saling melepas pelukan ketika pacarku datang dengan aroma harum ikan gurami.
Sebelum dia sempat berkata kata, aku gantian memeluknya.
Erat sekali.
-
Malang 13.33
20 July 2017
*Le (Bahasa Jawa) :
adalah nama panggilan untuk anak laki laki (Thole)
Komentar
Posting Komentar