(Teman)

 
Kita Hanya Berteman
 
 
Aku tertawa melihat pacar barumu yang selalu gusar saat kau ajak menikmati kopi, berulang kali ia menggigit bibir, mencemaskan gincunya yang lambat lambat memudar oleh tikaman tetes mocca.
 
 
Seminggu lalu aku masih mengisi kursi di depanmu.
 
 
Masih menjadi saksi saat tiba tiba kau keluarkan kotak kecil warna merah maroon.
 
 
Memintaku, entah untuk keberapa kalinya.
 
 
Lalu aku tak bosan bosannya menjawab kalem, penuh rasa ringan, mengalir begitu saja:
 
“Aku ini hanya ideal untuk menjadi temanmu, Duta”
 
 
Kau tak lepaskan secarik senyum itu, terus saja menginginkan agar aku memikirkan kembali masak masak.
 
 
Lalu aku tertawa, meneguk sisa kopi di depanku.
 
 
Mengibaskan rambut panjang ikalku.
 
 
“Tolonglah, aku mencintaimu. Kumohon”
 
 
Sesungguhnya aku tidak suka melihat Duta dengan mata beningnya yang siap meluncurkan ber mili mili air mata seperti ini. Aku kenal Duta sudah lama. Aku lebih dari tahu bahwa Duta bukan lelaki yang lemah. Apalagi hanya mendengar kalimat penolakanku, kurasa Duta dapat dengan mudah mencari yang baru.
 
 
 
“Aku menyukaimu dari semester awal kita bertemu. Kurasa hanya kau yang pantas menghuni rumah kecilku. Aku sudah bekerja, kau juga bukan pegawai yang buruk. Kita akan menghasilkan pendapatan lebih dari cukup jika memang benar benar ingin membina rumah tangga yang indah”
 
 
 
Duta kembali merayu, masih dengan kotak kecil yang menghadap wajahku.
 
 
Aku tertawa, walaupun sebenarnya ingin ikut ikutan menangis seperti yang dia lakukan sekarang.
 
 
“Orang tua kita Duta... tak mungkin mereka..”
 
 
“Kita bisa pergi ke luar kota” Duta memotong cepat.
 
 
Aku menggeleng.
 
 
“Proyekku lebih banyak di sini, kau tau itu” kataku.
 
 
Duta merebut jemariku. Kali ini aku benar benar merasakan bahwa tangannya sangat dingin. Dia singkirkan beberapa anak rambutku yang memenuhi dahi. Dalam tekanan tatapannya yang begitu tajam seperti ini, sungguh aku tak bisa berbuat apa apa selain mengikuti ekor matanya.
 
 
“Kita akan menghadapi apapun bersama, tanpa terkecuali. Termasuk orang tua kita” katanya.
 
 
Bukannya aku tidak mau, Duta. Tetapi masalahnya adalah...
 
 
“Aku bisa mati jika tanpa kamu di sampingku. Siapa yang menjadi alasanku untuk hidup jika bukan kamu? Apa kamu tega membiarkan aku hidup satu atap dengan mereka yang tidak pernah aku inginkan? Aku rasa kamu sudah cukup mengerti”
 
 
Malam itu Duta menginterupsiku habis habisan.
 
 
Dan aku hanya bisa terkekeh geli. Masih menganggap Duta hanya meracau akibat mabuk kopi.
 
 
 
“Begini Duta” kataku kemudian saat dia telah lelah memaksaku dengan cara cara mautnya.
 
 
Kutatap mata hijau itu. Mata yang selalu terjaga saat aku jatuh sakit. Mata yang tak henti mengawasiku saat aku sedang kesusahan dalam berbagai hal. Mata yang rela tidak terpejam saat menemaniku melembur tugas kuliah. Serta mata yang kuyakin, diincar oleh gadis gadis model apa saja di luar sana.
 
 
“Sejujurnya Duta, aku tak pernah mencintaimu”
 
 
Wajah Duta mengeras, namun air matanya belum gugur.
 
 
“Okelah, mungkin aku yang terlampau menarik” kataku akhirnya.
 
 
“Tetapi sungguh, bagiku kau hanyalah teman. Dan kita tak lebih dari sekedar partner yang serasi” kata kata itu meluncur seperti badai es, membekukan Duta di atas tempat duduknya.
 
 
Malam itu, kupatahkan hati Duta untuk kesekian kalinya.
 
 
Duta menutup kotak kecilnya pelan.
 
 
Menghapus dua titik air dari matanya.
 
 
“Jadi, aku minta maaf. Harus kukatakan semuanya sekarang bahwa aku memang..”
 
 
“Kau pasti sedang menyukai gadis lain kan?!” Duta memotong kalimatku. Lebih tepatnya menuding.
 
 
Aku menggeleng.
 
 
Tapi Duta mengangguk pasti.
 
 
“Baiklah, bagimu pasti aku hanyalah orang asing. Aku pasti hanya orang asing yang kau buat jatuh cinta, sementara kau memang tak pernah punya mimpi yang sama denganku? Bukan begitu, Tuan Irsandi Wega?”
 
 
Malam itu Duta meninggalkanku.
 
 
Menembus hujan di bulan Juni yang akan membasahi kemeja mahalnya.
 
 
Menuntaskan tangisnya dalam mobil mewahnya yaang sering ia pamerkan sambil bilang ‘kalau kita sudah menikah, kita akan akan jalan jalan dengan mobil ini’
 
 
Sementara aku, diam diam menyulut sebatang rokok dan kembali menjelajahi malam di sudut kedai dengan isi di kepalaku. Sendirian.
 
 
 
 
Malam itu, kejelasan yang kuungkap meretakkan hubungan kami selama lamanya.
 
 
Dan malam ini, aku seperti menjadi saksi kejadian seminggu yang lalu.
 
 
Kusaksikan Duta menikmati kopi dengan gadis bergincu merah menyala.
 
 
Diam diam aku tertawa, ahh Duta.
 
 
Kubilang apa,
 
 
 
Aku, Irsandi Wega tidak akan menjatuhkan harga diri dengan menikah dengan Tuan Duta Rahman, walaupun semua orang tau jika kekayaannya tidak akan habis hingga tujuh ratus turunan.
-
 
 
Baturetno
14.25 Wednesday 5 July 2017
(Tidak selayaknya Mas Mas berharap menikah dengan Mas Mas juga, bukan?)

Komentar

Postingan Populer