Binar




“Dia mengamuk lagi” suaranya nan pelan kuterima pagi ini. Dalam situasi gemetaran seperti ini aku tak dapat berfikir jernih. Terduduk pada sofa tanpa bersuara apa apa selain terisak.


“Aku tak bisa menemuimu, maaf” katanya lagi.


“Lebih tepatnya, kita tak bisa bertemu” ralatnya kemudian. Aku memilih tak bersuara hingga sekian detik berlalu, menunggu apa yang akan dia katakan.


“Mungkin nanti malam aku tak ke kedai, maafkan aku”


Sambungan diputus. Menyisakan separuh lebih kekecewaan yang bercokol di sini. Ini memang bukan yang pertama. Sudah kesekian kali, belasan mungkin. Dengan variasi yang berbeda beda. Jadi haruskah aku lagi? Lagi lagi aku yang harus mengerti akan situasi?.


“Aku akan terus mencintaimu, hingga kopi musnah dari muka bumi”


Tapi kemudian aku yakin biji biji kopi telah musnah dari kediamannya. Musnah dari ruangan yang dahulu dia bangga banggakan, ruangan yang menjadi tempat kami. Dulu.

-


Pagi adalah waktu paling tepat untuk menengok kalender. Dengan spidol yang tintanya mulai memudar, aku menandai tanggal tanggal penting. Dua puluh enam hari lagi aku akan resmi mengenakan toga, berhak menyandang sebuah gelar yang tanggung jawabnya mencakup bumi dan langit.



Dan aku tertegun kemudian menyadari bahwa di hari itu aku tak kan didampingi siapa pun. Siapa pun itu. Termasuk seseorang yang selalu menemaniku mengerjakan soal ketika musim ujian. Seseorang yang menghadiahiku berguci guci biji hitam yang ia kumpulkan dari sudut dunia manapun, walaupun katanya aku tak boleh ikut dengannya.



Ini adalah hari kesembilan dia tak menghubungiku via apapun. Aku mulai terbiasa tanpa aroma tubuhnya di ranjangku. Atau gerakan tanganku pada bawah lehernya untuk merapikan dasinya sebelum ia pergi dari halaman rumahku. Aku mulai terbiasa tanpa dua tangkup roti tawar beroleskan selai kacang.


Ini adalah hari kesembilan, sehari lagi mungkin kami akan bertemu.


Ah tidak, ini hanyalah bagian dari yang kuharapkan saja.



“Aku mengalah pada keputusannya untuk membersihkan markas kita dari biji biji kopi”


Itu adalah kalimat yang ia katakan sembilan hari yang lalu, tergesa gesa sekali ia mengemasi pakaiannya. Tak sempat pula mungkin menyaksikan air mataku yang meluber kemana mana.


“Tapi tenanglah sayangku, aku akan membangun markas kita yang lain. Aku akan membangun kedai kita di tempat yang tak terjamah siapa pun” janjinya.


Kali ini aku tak mau mengangguk. Aku sudah cukup puas untuk menelan berhala pengharapan yang kubangun sendiri.


Pada genggamannya terakhir sebelum dia pergi dia berbisik kembali, masih dengan gumpalan keyakinan yang ia gulirkan.



“Aku milikmu, kopi adalah kerajaan kita. Aku akan datang di wisudamu. Pastikan hari itu adalah hari terakhir kita di kota ini, setelahnya aku akan membawamu bersamaku selamanya”


Dia memelukku, mengizinkan tangisku tumpah membanjiri kemejanya yang wangi.



Di hari itu aku melepasnya.


Melepasnya untuk kembali kepada pelukan istrinya yang hangat.


-



“Kabarnya kamu sudah punya perkebunan kopi sendiri ya”


Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.


“Aku pernah dengar ada racikan kopi dengan nama yang sama dengan nama yang tertera di lencana ini” dia menunjuk lencana bergaris emas yang kukenakan. Orang ini sengaja membelikannya untukku. Satu satunya manusia yang masih peduli dengan hari dimana aku harus berdandan, mengenakan riasan yang sama sekali tak kusukai dan memasangkan topi toga di kepalaku. Orang ini yang telah menghancurkan prediksiku mengenai tak seorang pun yang akan datang di hari wisudaku.


“Selamat ya, sudah sarjana. Semoga gelar cum laudenya tidak salah pundak”


Aku hanya tersenyum, menepiskan segala pikiran tentang orang lain yang seharusnya datang di hari istimewaku ini. Seseorang yang mungkin hari ini sedang berlibur dengan kedua anak dan istrinya yang bergincu lebih merah dari yang menempel di bibirku saat ini.


Aku masih berusaha menahan getir saat secara sadar aku merindukan orang itu, dia yang menghantarkanku meraih nilai tertinggi. Dia yang menghadiahiku berguci guci biji kopi. Dia yang mencumbuiku di malam sebelum menghadapi ujian tengah dan akhir semester. Dia, yang membangunkan kedai kopi pribadi untukku. Kerajaan yang kuimpikan sepanjang hidup.


“Hanif, bisakah kau antarkan aku pulang”


Aku harus menemui manusia yang kurindukan, dengan atau tanpa istrinya. Saat ini juga.


-


“Binar? Tidakkah kamu merasa lelah?”


Kuhentikan acara menyisir rambutku. Mengalihkan pandangan dari cermin kepada mata yang sejk tadi mengamatiku, tidak diam diam tapi secara terang terangan.


“Lelah dalam hal?”


“Mencintai”


Aku diam, menelan ludahku. Menyiapkan ratusan kalimat untuk amunisi jika lelaki ini mencecarku dengan pertanyaan yang bukan bukan ataupun yang tak kusukai.


“Tidakkah kau lelah dengan kakimu yang berlari mengejar sesuatu yang semestinya bukan untukmu, Binar?”



Aku mengabaikannya dengan terus mengawinkan sisir dengan rambutku yang sedikit kusut. Aku tak butuh pertanyaan semacam itu, aku sudah terlalu hafal dengan dakwaan bahwa apa yang kulalukan ini adalah salah. Tetapi bukankah tidak ada yang salah dalam hal mencintai?



“Tidakkah kau lelah Binar? Tidakkah kau ingin berhenti?”



Kuputuskan untuk segera merampungkan kegiatanku di depan cermin.


Aku harus pergi menemui seseorang, bukan mendengarkan pertanyaan pertanyaan laknat seperti yang kudengar saat ini.



“Binar”



Tangannya menahan lenganku.


Mata kami bertemu.


“Binar, bisakah sekali saja kau dengarkan permintaanku?”



Baik, aku akan dengarkan.


“Binar, aku kehilangan seseorang yang saat kutatap matanya ada cahaya di sana”


Ya, lalu?


“Aku ingin dia kembali”


Setelahnya?


“Aku ingin Binar yang dulu” katanya, memegang pundakku untuk kemudian menyentuh daguku.


“Aku telah lama kehilangan binar mata di mata sahabatku, Binar”


Tidak Hanif, mataku masih berbinar. Kamu salah!


“Binar, apakah kau telah buta? Dimana Binar yang dulu?”


Aku tak peduli dengan Binar yang dulu ataupun Binar yang sekarang. Aku mengenal binar mataku 
yang menyala saat aku bertemu dengan orang yang kucintai, dengan atau tanpa istrinya di samping
tempat duduknya.



“Kamu boleh berbangga dengan kerajaan kopi di kastil imajinasi buatanmu, Binar. Tapi sadarlah bahwa kau bukan ratu di dalamnya. Sebesar apapun, sedalam apapun kau menumpahkan kecintaanmu pada kerajaan yang kau bangun, kau tetap seorang selir di dalamnya”


Tapi aku?


“Kau akan tetap menjadi selir, Binar. Kau akan tetap menjadi mantel usang di biliknya yang bertahtakan emas sekalipun. Kau hanya akan dicari di saat genting, sementara untuk keluar menemui petinggi kerajaan yang lainnya, sang raja akan mengenakan jubah kebesarannya yang mewah”



“Binar, kumohon. Jika memang kau lebih dicintai di hutan yang sunyi, kembalilah ke tempat itu. Kau akan lebih berarti. Binarmu akan terus menyala. Jangan memaksakan cahayamu yang kecil untuk bersaing dalam lampu pesta yang menyilaukan. Binar, kau punya dunia yang lebih baik”



Untuk pertama kalinya Hanif berkata panjang lebar dengan kiasan yang tak kuduga duga.


Dan kudengarkan juga, aku menyukai perumpamaannya yang lebih dari indah.


-Binarku lebih berarti di hutan yang sunyi, bukan di dalam istana yang megah-.



“Binar, tanggalkan mahkota selirmu. Bebaslah. Kau bisa membangun kerajaan kopimu sendiri, tanpa seseorang yang telah beristri di sampingnya”


Aku ingin memeluk Hanif, tapi dia terlebih dulu menghapus tetes dingin dari sudut mataku.


“Kau tau, saat ini aku rasa binar itu telah kembali” katanya, memberiku segaris senyuman dari bibirnya.


Untuk pertama kali, aku baru menyadari bahwa Hanif memiliki mata yang indah. Bercahaya.


**
Baturetno
09.53 AM
Sunday 2 July 2017
(Sukakah kau dengan binar mataku? Atau yang lainnya?)

Komentar

Postingan Populer