Mantan
Sore
itu aku menyempatkan mampir di sebuah tempat, tiba tiba..
Tatapan
kita beradu, lalu bergantian dibuang. Aku memandang langit, kau memandang
mawar. Lalu aku mencuri curi pandang lagi, malangnya aku ketauan dan langsung
diterkam.
Aku
menandaskan cangkir tehku sebelum kemudian berdiri. Dan kulihat kau juga mau
bersiap pergi.
Aku ke arah utara, kau ke selatan.
Aku
ingat matamu
dan
sepenggal nama yg kulupakan namun kupanggil kamu –mantan-.
-
Ada
alasan lain mengapa aku masih mengingat sosoknya walau berbalut busana serba
tertutup. Aku lebih dari hafal bagaimana caranya memandang dan warna tatapannya
yang abu abu coklat. Tiga tahun memahatkan namanya dalam hati sudah cukup
membuatku mengenali setiap gerakan tubuhnya.
Walaupun
kisah panjang kami pupus di sore itu, kala dia datang dengan sebucket mawar
berhias seruni yang kusukai. Aku ingat kemeja birunya yang wangi. Aku ingat
rambutnya yang sangat rapi.
Aku ingat senyumnya yang tak berhenti tercetak dari
bibirnya yang manis.
Sejujurnya
aku sudah tau sebelum dia mengatakan apa apa tentang kejelasan hubungan kami
setelah lebih dari satu minggu kami memutuskan untuk tidak saling berkirim
kabar.
“Renjana” begitu dia memanggil
namaku dengan sangat hati hati. Mungkin benar jika calon mantan atau mantan
akan lebih terlihat berkharisma saat kita akan atau telah berpisah dengannya. Aku
benar benar tidak bisa lupa caranya menyodorkan bucket mawar, penuh penghayatan
seolah olah aku adalah manusia satu satunya yang berhak mendapatkan itu.
“Aku tau kamu mau ambil konsentrasi
teknik di Jerman” aku menukas pelan, membiarkan bucket mawar itu di samping
jemariku tanpa membaui bagaimana aromanya.
“Aku ngerti, aku paham jaraknya
begitu jauh. Tapi tak bisakah kamu tinggal barang sebentar atau bersabar untuk
sejenak?” tak kucoba menunggu jawab darinya. Aku memiliki segudang pertanyaan
yang perlu kutegaskan padanya.
“Bisakah setidaknya hatimu kamu
tinggalkan di sini, untukku?” lagi, aku memberondong dengan todongan pertanyaan
standar yang jawabannya sungguh sederhana. Seharusnya, menurutku begitu.
“Renjana, sometimes something looks
like sophisticated..” keluhnya setengah berbisik. Sebelumnya dia tidak pernh
gagal dalam meyakinkanku dalam hal apapun, namun akankah perlu cukup keyakinan
untuk menorehkan sepenggal kata pisah?.
“Renjana, Aku tinggal di sana tidak
hanya akan satu dua hari namun...”
“Apa kau tak bisa membawaku ikut?” kupotong
kalimatnya, lirih. Lebih tepatnya memberikan solusi yang itu sama sulitnya.
“Aku harus di sana tidak hanya
ketika sudah menjadi sarjana, tetapi setelahnya pun aku harus...”
“Harus meninggalkanku?”
Aku
kehilangan kata kata setelahnya. Lebur dalam derai tangis yang memecah sunyi
kedai kopi kecil itu. Aku kehilangan selera untuk mendengarkan banyak alasannya
meskipun itu serasional apapun, bagiku semuanya sudah jelas.
Mimpi
kami memisahkan segalanya.
“Renjana, kita tidak pernah salah.
Kita hanya direnggangkan oleh keadaan. Bagiku semuanya hanya perkara jarak, aku
berharap bisa menjemputmu ketika aku siap nanti”
Aku
tahu itu omong kosong.
“Renjana, aku tidak bisa menjanjikan
apa apa. Tetapi aku akan terus begini selagi aku mampu”
Begini?
Kamu pikir sudah cukup?
Singkatnya,
sore itu adalah terakhir kali aku dimanja dengan aroma mawar dan seruni. Tidak ada
pelukan perpisahan, tak ada kecupan selamat tinggal. Dia membiarkanku mematung
bagai lilin yang mengeras setalah leleh terbakar oleh jilatan api di sumbunya
senndiri. Tidak ada lagi kopi setelah itu. Tidak juga potongan keju di atas
bolu. Aku kehilangan dia, sehilang hilangnya.
Namun
memang benar kata orang, bahwa waktu akan menyembuhkan luka.
Setidaknya
sore ini, saat aku kembali menangkap matanya yang masih saja indah.
Tetapi
alasan tepat mengapa dia sengaja menghindariku kali ini mungkin karena bukan
dia yang menjemputku, namun aku yang datang.
Bersama
adik lelakinya, kekasihku yang sekarang.
-
Malang
Thursday
09.26
13
July 2017
Komentar
Posting Komentar