(Tidak) Tenang
“Dua
diantaranya Fortuner, satu Innova keluaran terbaru, Honda Jazz dan yang kemarin
ada Kijang metalic” seseorang berbisik bisik pada sekumpulan yang lainnya. Rokok
dan kepulan kopi berpadu dengan manusia manusia penyuka malam yang mulutnya
telah berbusa busa, menyuarakan apa yang ada di pikiran dan pernah mereka
saksikan dengan mata.
“Tidak
cuma kembang, ada golek* yang tersangkut di jaring Lik Pardi. Besok kita
telusur lagi, jangan sampai ini berlarut larut. Mengerikan” seseorang
menimpali, menyedot rokoknya yang tinggal separuh. Pemilik kedai menambahkan
gorengan pada nampan yang telah kosong, menggenapi bunyi perut keroncongan yang
kadang lebih karena tak sempat pulang ke rumah.
Semua
orang sibuk dengan pencarian.
Beberapa
kepala memutuskan untuk tidak memperbaiki sampan kecil mereka, mengalah pada
kasak kusuk yang sedang beredar. Ada pula yang masih berani, mengambil resiko
karena padi telah menguning. Menyeberang air waduk yang sudah tak tenang,
kabarnya. Apa boleh buat? Masalah perut harus mempertaruhkan nyawa. Cemas
menghinggapi, siapapun. Bagi siapa saja yang berladang dengan menantang maut
menyeberangi air waduk.
“Orang
orang itu tahunya kita hanya bisa diam. Padahal kalau kita mau, semuanya bisa
balik. Mereka seperti sudah tak kenal karma saja. Setelah teror siluman ular,
apalagi? perempuan berambut tergerai memanggil manggil?” pemilik warung ikut
nimbrung. Dia memang tak punya sawah seperti orang orang yang mampir ke
kedainya. Tapi perbincangan setiap jam dalam dua hari terakhir telah cukup
menambahkan pengetahuan mengenai banyaknya orang yang datang ke desa itu tanpa
permisi, kabarnya memasang tumbal ke dalam waduk. Menjebak nyawa nyawa manusia
tak berdosa dengan jimat atau sesajen guna memuja peliharaan mereka jika ada
korban yang tewas.
Peristiwa
itu tak hanya sekali dua kali, bahkan hampir setiap musim. Berulang.
“Jadi
kita harus menunggu keputusan Pak Darto untuk memeriksa setiap orang yang
datang ke waduk. Tidak bisa dibiarkan begitu saja kita dalam situasi seperti
ini. Kepala Desa harus turun tangan, jangan sampai kita yang turun celurit” Lik
Agus mematikan rokoknya. Kelihatan bernafsu untuk segera menangkap siapa pelaku
utama yang tempo hari menewaskan dua anggota keluarganya.
Semuanya
diam, ada yang sangsi ada yang mengangguk angguk setuju.
Bukan
perkara mereka tahu Pak Darto adalah manusia paling berkuasa di kampung. Tetapi
lebih kepada kekuatan politiknya yang tak diduga duga. Beliau bisa berhubungan
dengan siapa saja tak terkecuali jika dia mau menghentikan orang orang asing
yang keluar masuk desa. Bukankah itu teramat mudah baginya?
Bulan
masih temaram. Masih jauh untuk menuju tanggal limabelas. Kedai semakin riuh
dengan perbincangan mengenai sawah, air, waduk, misteri perempuan cantik yang
setiap pertengahan bulan muncul di tengah air waduk dan juga tentang harga
harga yang melonjak naik. Menipiskan kantung kantung mereka. Mata mereka terus
terjaga, ditahan oleh bergelas gelas kopi sachet seribuan yang terus mereka
pesan.
Malam
semakin larut, pikiran semakin kalut. Carut marut memagut lutut, desa tak boleh
terlelap. Mereka harus waspada.
-
“Kang
Kasman, Nilam Kang, Nilam!!” Utut berlari terengah-engah menuju kerumunan orang
di pagi itu. Kang Kasman bangkit, meloncat dari tempat duduknya. Kopinya hampir
tumpah, goyang dari semula ia diletakkan.
“Kenapa
dengan Nilam?” tanyanya. Utut, lelaki berperawakan kurus dengan balutan kulit
coklatnya yang keling ditimpa cahaya pagi gemetar. Memeluk tubuh kekar
pamannya, mengundang mulut orang orang untuk menganga.
“Maafkan
saya Kang, dia lari ke danau. Mungkin semalam, sekarang saya lihat dia
mengapung di dekat sampan Lik Sunar”
Plak!! Tamparan
mendarat di pipi bocah yang masih kelas dua SMA itu. Kang Kasman berlari menuju
waduk, diikuti yang lainnya yang sibuk menenangkan. Sebagian menolong Utut yang
terhuyung. Masih gemetar seluruh tubuhnya, takut.
Kabar Nilam yang mati
mengenaskan sedemikian cepatnya beredar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gadis
manis itu telah lama sakit. Mengurung dirinya di kamar, gagal kawin dua tahun
lalu akibat kekasihnya telah lebih dahulu berpulang. Tak lain tak bukan karena
dimakan tumbal waduk, hingga sekarang tak diketahui siapa yang memasangnya. Gadis
itu sedemikian terpukulnya hingga setengah gila. Jika purnama tiba dia menangis
sejadi jadinya, meminta duduk di sampan menikamati bulan yang merekah.
Mengenang kekasihnya yang telah tiada.
“Maafkan saya Kang” masih sempat Utut berlutut di depan
pamannya setelah upacara penguburan Nilam. Ini bukan salah Utut sepenuhnya, dia
hanya penjaga. Mungkin sudah menjadi suratan hingga malam itu Nilam terlepas. Masih
jauh dari tanggal bulan purnama, Nilam ingin mengenang kekasihnya lebih cepat
dari biasanya.
Atau lebih cepatnya
menyusul kekasihnya, pergi.
Peristiwa itu semakin
mengentalkan ritual bapak bapak di desa untuk terus berkumpul selepas magrib,
membahas, berdiskusi, menghakimi dan melancarkan sumpah serapah bagi mereka
yang telah mengotori waduk. Mereka menghabiskan uang sisa panen untuk
menghidupkan malam di tempat itu. Semakin lama muncul tradisi baru. Mereka
telah bosan hanya dengan bergalon galon kopi.
Malam malam setelahnya,
mereka diam diam merogoh kartu remi. Memainkan judi yang lama tak mereka
acarakan. Menunggu purnama purnama selanjutnya.
-
“Mari kita lihat sikap si Darto” Lik Agus berbicara
dengan berapi api. Setelah acara tujuh hari di kediaman Kang Kasman, sebuah
mobil mewah terparkir secara tiba tiba di halaman rumahnya. Memperkenalkan
diri, dia bilang berasal dari kota yang cukup jauh. Datang hanya untuk
menghaturkan bela sungkawa atas kematian istri dan anaknya yang tewas
tenggelam. Mengaku pernah ditolong anaknya ketika mereka satu wilayah tempat
tinggal, padahal Lik Agus ingat betul anaknya tak pernah merantau di kota yang
sama dengan tamu itu.
“Kalau sampai dia masih mengizinkan itu orang orang
mancing ke waduk, kita tebas lehernya”
Semua orang tergidik,
tahu betul kelakuan Lik Agus yang berani. Mantan preman pasar, tatonya dimana
mana. Kehilangan anak dan istrinya telah mencoreng kehormatannya.
Orang orang berulang
kali mendatangi kediaman Pak Darto. Menuntut keadilan. Kematian tidak
seharusnya mengincar mereka. Keputusan sepenuhnya berada di tangan kepala desa.
Tidak menerima pemasukan dari para pemancing juga bukan masalah besar, ladang
mereka lebih dari cukup untuk menghidupi. Pun, tanpa resiko kematian yang
mengejar ngejar.
Begitu pula ketika
sebuah mobil Swift muncul di halaman Pak Darto, berbondong bondong orang datang
merangsek. Berjejalan di pintu pagar, curiga apabila terjadi kongkalikong. Toh,
tak ada yang tahu hati dan pikiran seseorang. Pak Darto bisa saja berkhianat,
mengorbankan warganya demi pemasukan dana desa yang berulang kali seret karena
masalah internal.
“Pulang pulang, calon mantu ternyata” orang orang kembali
kerumah dengan kecewa. Dikira konglomerat pasang tumbal, ternyata calon mantu
yang bertandang.
“Kalo sampai kutemukan lagi sesajen di pinggir waduk,
dengan atau tanpa pancing di dalam mobilnya. Kugorok leher orang itu”
Desa mencekam oleh
kasak kusuk. Kedai semakin ramai, sumpah serapah dimana mana. Istri istri ditinggalkan
suaminya untuk membersihkan waduk dari orang asing. Jalan desa diperketat
penjagaannya. Sementara purnama semakin dekat.
Orang orang semakin
mengenang almarhumah Nilam, juga bayangan wanita muda yang sering muncul di
pinggiran waduk. Membangkitkan bulu kuduk. Anak anak tak diizinkan keluar malam
selepas magrib, semua dipingit kecuali para suami.
Kopi terus dikeruk,
kantung terus digali. Mata mata sayu menghias setiap bilik. Tak ada gabah yang
harus dijemur, ditinggalkan di seberang waduk. Roboh dan mati satu persatu,
ditikam teror yang horor.
Purnama semakin dekat,
mencekik siapa saja.
-
“Kutukan Nilam” seseorang mendesis ketika pagi itu desa
kembali geger.
“Arwahnya tidak rela jika dia mati sendirian tanpa ada
pengiring” seseorang menambahkan. Menutup hidungnya dengan tangan, menghindar
dari bau busuk yang menyeruak.
“Ssstt jangan membicarakan orang mati, tidak baik” kata
seseorang menghentikan percakapan mereka.
Tiga hari setelah Swift
merah muncul di halaman rumah Pak Darto, beliau menghilang. Baru diketemukan
pagi ini, telah koyak. Mengambang di waduk, tersangkut akar akaran pohon besar.
Semua orang saling
berkonspirasi tentang penyebab kematiannya. Pak Darto bukan tak punya musuh
tetapi anak buahnya lebih banyak. Ratusan, bahkan ribuan. Adakah yang berani
menghabisi nyawanya dengan cuma cuma?.
Waduk akan tetap
tenang, dengan atau tanpa sesajen di atasnya. Waduk akan tetap menjadi misteri,
dengan atau tanpa Nilam membayanginya. Waduk akan tetap bersih, dengan tau
tanpa mayat yang terus mengapung sepanjang tahun.
Waduk akan tetap indah,
terlebih saat bulan purnama. Berpendar.
--
Baturetno
09.12 Monday 03 July
2017
(Terinspirasi oleh
mitos di sekitar Waduk Gajah Mungkur wilayah Boto, cerita hanya fiktif belaka
dikaitkan dengan fakta. Tokoh dan tempat hanya rekayasa).
*golek : nama lain dari boneka (bahasa jawa)
*Lik : sama artinya dengan paman (bahasa jawa)
Komentar
Posting Komentar