Hijrah






Sebulan yang lalu, aku masih menjumpainya dengan jeans biru ketat yang lebih tepat membuat lekuk tubuhnya laksana ‘lemper’. Melekat sekali, dibungkus rapat.


Dan hari ini, aku menyaksikan sendiri wajahnya yang bersih begitu berseri seri ditimpa cahaya ruangan ‘gala dinner’. Seolah mengentaskan seluruh kekagumanku yang telah lalu, aku menyaksikan gadis manis ini tertutup gamis longgar warna merah muda dengan jilbab lebar warna peach pudar. Cekungan kecil di pipi kirinya sesekali menghentak, manis ketika dia tersenyum. Bukan senyum genit seperti yang lalu lalu, tetapi..



“Dua bulan lagi aku akan dikhitbah*” katanya pelan sekali, seolah takut ada orang yang tau.


Kutelan ludahku, namun tak sanggup menanyakan ‘dengan siapa?’ ataupun ‘kenapa secepat ini’ atau paling tidak ‘apakah kamu benar benar sudah siap?’.



“Kamu dateng ya ke walimahanku* nanti. Semoga lekas disegerakan. Aku sedang negoisasi dengan Bapak supaya beliau mau menyempatkan pulang dulu demi aku”


Aku hanya mengangguk angguk, semoga. Namun aku menyemogakan yang lain, semoga Om Harsono sibuk terus di Australi.


“Kamu kapan nikah? Kabarnya pacarmu kali ini cantiknya bukan main, kenapa tidak dibawa ikut?”



Kugaruk kepalaku, nyengir kuda. 


“Enggak kok, aku sudah putus bulan lalu”


Gadis ini membelalakkan matanya yang indah, dengan lucu menyahut lembut “Jinjahh?*”


Aku mengangguk lesu.


Malam ini seluruh makanan yang kuambil sama sekali tidak menarik. Dalam benakku terpenuhi dengan bayang bayang Digna yang bertemu lelaki dengan jenggot tipis, berwajah penuh aura ketakwaan, kemudian Digna cinta mati padanya dan seminggu kemudian mereka menikah. Lalu Digna setelah bahagia dinikahinya akan mengurung diri di rumah, berlahan mengenakan niqob*, menjaga anak anak serta melepaskan seluruh aksesoris ala sosialitanya. Kemudian Digna akan..



“Udah coba bicara sama Digna?” seseorang menyenggol lenganku.


Aku menggeleng.


“She deserves better” ucapku.


“Lu nggak berani ya karna dia udah hijrah?”


Aku menggeleng lagi.


“Gua kaga mau jadi ujian iman buat dia, Bro”


“Tapi kan dulu Digna yang ngejar ngejar Lu, masa gitu aja Lu nyerah sih? Bukannya Lu bilang Digna cinta mati sama Elu?”


Aku menarik napas panjang, meletakkan piring beserta isinya yang belum sedikitpun berpindah ke dalam perut.


“Ya mungkin dia cinta mati sama gua, tapi sayangnya hidup nggak cuma sekali. Gua cuma takut engga bisa nganter dia ke surga, sedangkan dia sekarang udah jauh di depan gua. Gimana kalo gua malah ngerusak niat hijrah dia? Gimana kalo gua gabisa jadi sumber ilmu agama buat dia? Gimana kalo gua jadi ngerusak iman dia nanti?”


Giliran lelaki di depanku ini yang menggaruk kepalanya.


“Gua juga mikir gitu sih, jadi kenapa Lu nggak ikutan hijrah aja biar bisa sejajar sama Digna?”


Hijrah?

Bahkan aku tidak pernah berfikiran akan hal itu. Bisa sholat lima waktu saja sudah untung, mana ada waktu untuk mengumpulkan niat untuk hijrah.


“Gua ngerasa kalau..”


“Ngerasa kalo Lu emang belum siap jadi yang lebih baik?” lelaki ini meringis, melontarkan sindiran halus.


Aku terpekur.


“Ya setahu gua nih, hijrah itu pilihan hidup. Nah kalo dapet jodoh yang baik itu bonus, ya berdoa aja kalo bonus Elu itu Si Digna. Jadi Elu bisa tuh wujudin impian buat ngelukis Selat Bhosporus sama dia, kalo udah halal”


Ah, Selat Bhosporus.


Kami, aku dan Digna memang sama sama menyukai negara Turki. Jauh sebelum kami berpisah kami memang sering membicarakan tentang rencana liburan menjelajahi Eropa. Aku mau melukis selat dan Digna ingin menulis banyak hal tentang perjalan kami dalam blognya. Tapi rasanya saat ini mimpi itu terlalu jauh di awang awang, di luar jangkauan.


“Gua sih berdoa aja, semoga kalo emang Lu mutusin buat lupain Digna, Lu bisa ikhlas seikhlas ikhlasnya. Karena jujur ya, gua tau lu dari kecil Bro. Gua paham kalo lu masih suka sama Digna. Tapi saran gua sih kalo emang Lu mau hijrah, niatkan buat Tuhan.. bukan cuma buat cari jodoh yang baik”


Lelaki itu berlalu, membawa piringnya menjauh dari tempat kami tadi bercakap cakap.


Aku kembali sibuk dengan bayangan bayangan yang tak bisa kutahan.


Dari sini, aku melihat Digna begitu anggun berbicara dengan teman temannya sambil sesekali tertawa tawa. Aku melihat senyumnya yang mengembang indah sekali, senyum seorang calon pengantin.


Sayangnya, bukan aku yang akan memiliki senyum itu selamanya. Senyum itu akan terpenjara pada rumah yang tepat, rumah yang selalu ditimpa cahaya iman. Sedangkan aku, tidak lebih dari sebuah sel gelap yang lama dia tinggalkan. Digna menuju cahaya yang lebih bisa membahagiakannya lahir batin.



Selamat Dignaku sayang, semoga dilancarkan segalanya.



Aku akan menyusuri Turki nantinya, meskipun sendirian. Mungkin juga bersama bayangmu, aku rasa hanya itulah hakku sepenuhnya.

-
Malang
14.19 Saturday 22 July 2017


·         Khitbah           : lamar, dikhitbah= dilamar
·         Walimahan      : pernikahan
·         Jinja (korea)     : sama artinya dengan ‘benarkah?’ dengan ekspresi terkejut
·         Niqob              : penutup kepala wanita yang dilengkapi dengan cadar
·          

Komentar

Postingan Populer