Hujan

 
 
'Kamu bisa liat warna hujan nggak?' tanyanya. Matanya menerawang ke arah langit, tempat dimana butiran air berasal. Sebelah tangannya ia tengadahkan ke atas, seperti ingin merasakan sesuatu.


Aku menggeleng.

'Kamu lihat yang itu? Dari sini terlihat magenta' katanya kemudian menunjuk arah utara. Dahiku berkerut, gilakah manusia di sampingku ini?

'Lihat yang itu?' lagi, ia menunjuk arah jam sembilan. Kuturuti jemarinya, tak ada apa apa.

'Kalo yang itu warna toska, hijau toska' ujarnya kemudian.


Hujan semakin cepat menghantam tanah. Membasahi apapun di bawahnya.


'Kamu bisa mendengar nada hujan nggak?'


Lagi lagi aku menggeleng.

Dia kemudian tersenyum.


'Sebenarnya dari lima detik yang lalu, ada hujan yang sedang bernyanyi'

Hujan yang bernyanyi? Apa maksudnya? Apa dia pikir hujan itu bernyawa?


Aku masih diam, menahan dingin yang memeluk.


'Itu, di tengah jalan itu, sebenarnya ada hujan yang sedang menari' katanya sambil menunjuk jalan di depan kami. Tak ada apa apa. Hanya hujan. Hujan yang sama dengan hujan hujan yang lainnya.


'Hujan itu berjenis wanita, dia kesepian. Sekarang dia sedang menari nari. Dia sendirian sejak Tuhan menciptakan dia'


Dia melanjutkan:

'Dia sedang mencari kekasihnya' bisiknya pelan di telingaku.


'Maksudmu, hujan pun juga berpasangan?' tanyaku.

Lelaki itu mengangguk.


'Tapi, si hujan wanita itu sudah terlalu lama menari demi menunggu kekasihnya' katanya. Nada bicaranya berubah sedih, seolah dia juga menjadi bagian dari hujan itu.



'Jadi, kemana si hujan wanita itu mencari kekasihnya?'


Lelaki itu menggeleng ragu,


'Aku tak tau, mungkin ke muara. Atau ke dasar tanah, atau bahkan kembali ke angkasa. Yang jelas hujan akan tetap setia pada tanah, meskipun dijatuhkan dari ber mil mil jauhnya. dia akan tetap mencumbu bumi, apapun yang terjadi'.




Komentar

Postingan Populer