Daun yang Membenci Angin
Argh
Akhirnya
merasakan encok luar biasa. Aku tak benci keadaan ini namun ini sedikit
menyakitkan. Baru saja aku mengatakan selamat berpisah dengan teman temanku,
angin datang menghempaskan helaiku ke tanah.
Aku
tidak mati, hanya sakit.
Dan
saat aku masih mengaduh dengan ratapan tentang tulang yang serasa patah, aku
baru sadar jika aku tak sendirian.
Ada
banyak yang baru saja merasakan hal yang sama denganku.
Ah
tetap saja aku masih syok, masih belum siap meskipun warnaku memang sudah
sepenuhnya coklat tua.
Sambil
terus mengaduh aku mengutuk angin. Sial benar dia berani membuatku terjerembab
di tanah seperti ini.
“Sedang
kesal ya?”
Aku
menoleh ke arah suara.
Dia
tertawa kecil. Beringsut mendekati posisiku.
“Baru
saja gugur?” tanyanya.
Aku mengangguk.
‘‘Aku juga’‘
Plis, aku nggak nanya!
omelku dalam hati.
‘‘Well, don’‘t you know
why we have to falling down?’‘ matanya yang mungkin sudah buram menatap ke
atas. Melihat pucuk pucuk primordia yang bermunculan. Calon calon generasi baru
pengganti kami.
‘‘Ya karena kita sudah
tua, sudah tidak efektif lagi untuk berfotosintesis’‘ jawabku.
Dia tertawa.
Menyebalkan!
‘‘Iya kita ini tua’‘
katanya lagi, masih dengan mata yang mengarah pada pohon tempat kami dulunya
menempel erat.
‘‘Kita tua, tapi kita
tidak berhenti menebar manfaat’‘
Ah, aku lebih
bermanfaat jika bisa hidup lebih lama. Jika aku bisa terus berwarna hijau,
memproduksi klorofil, menjadikan karbohidrat untuk pohon yang kutempati, tidak
jatuh dan gugur seperti ini.
‘‘Setidaknya kita
pernah menjadi daun muda’‘ lanjutnya.
Berisik suara anak anak
yang baru lahir dari jaringan meristem seolah mengingatkanku pada hari pertama
aku muncul di dunia. Saat aku masih berukuran sekian mili meter. Saat masih
asing dengan kandungan klorofil di badanku dan aktifitas pabrikasi asimilat
yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Hingga akhirnya di hari hari
selanjutnya terasa menyenangkan. Kuambil karbondioksida, tambahan sinar
matahari, sedikit air dan kemudian aku dapat menghadiahkan fotosintat untuk
pohon yang kutempati. Di hari ke delapan aku hidup, aku melihat pohonku mulai
berbunga. Dan aku merasa menjadi daun yang sangat beruntung dapat menjadi
penyebab timbulnya bunga itu, bunga bunga apel yang lucu.
‘‘Tapi aku lebih suka
ketika masih di atas sana’‘ curhatku sedih. Pohon itu semakin tampak indah
dengan hiasan butir butir apel kecil. Nantinya dia akan berwarna merah marun.
Sangat indah.
Dia, daun di dekatku
tertawa lagi.
‘‘Kita ini tidak akan
mati sepenuhnya, percayalah’‘ katanya.
Dia masih menengadahkan
wajahnya ke atas.
‘‘Aku rasa, tanpa angin
aku tak kan jatuh’‘ kataku, masih protes dengan sekumpulan angin yang
menerbangkanku tadi.
‘‘Haha, tetap saja.
Kita ini sudah tua. Semua daun tua akan jatuh dengan sendirinya’‘
Aku diam. Ikut
mengamati banyak daun di atas sana yang sibuk dengan tubuhnya yang sedang panen
zat gula.
‘‘Jangan membenci
angin, dia yang menghantarkan kita pada kebermanfaatan yang berlanjut’‘ kata
dia lagi masih dengan nada bijak.
‘‘Ah, aku masih
ingin...’‘
‘‘Dunia ini selalu
berganti ganti kawan, tidak ada yang abadi’‘ potongnya cepat.
Aku mengerti.
‘‘Toh nantinya kita
akan terdekomposisi. Kita menjadi zat hara di kemudian hari. Kita masih
dibutuhkan pohon ini. Kita masih terlibat dalam pembentukan daun daun yang baru’‘
Ah, mengapa dia
benar...
Tidak seharusnya aku
berharap bahwa akan hidup selamanya, bukan?
‘‘Yang kita butuhkan
hanyalah ikhlas. Bukankah menyenangkan menyaksikan anak anak yang baru saja
terbentuk sembari menghabiskan masa penantian seperti ini?’‘
Aku diam, mencerna
kalimatnya.
Dan kemudian tersadar.
Bahwa dengan gugur, aku telah mengizinkan daun daun baru muncul. Berganti
gantian. Dan itu menyenangkan.
Lebih menyenangkan lagi
ketika rasa ikhlas mengisi tulang tulangku, membuatnya tak lagi terasa sakit.
-
Komentar
Posting Komentar