Sebuah Pilihan
Semua bermula ketika pagi itu.
Ini bukan sebuah pilihan yang mudah, aku sudah menggodoknya dalam pemikiranku lebih dari dua puluh lima kali sehari. Bahkan di sela aku harus menghafal materi sidang skripsi dan setumpuk file milik perusahaan di tempatku sedang bernaung. Aku tak bisa begitu saja memutuskan walaupun jawabannya hanya diantara dua pilihan, ya atau tidak.
Bukan, aku tidak pernah berjanji sebelumnya.
Jadi begini, masalahnya adalah aku sudah merubah arah impianku. Telah kubelokkan semenjak memasuki semester ke tujuh dimana sebagai mahasiswa tingkat akhir, sudah seharusnya kalung ideologis dilepaskan. Berat memang, namun itu pilihan.
Akar masalahnya, aku tidak mau menggantikan hari hari penuh deadline dengan hal yang lebih santai.
Poin plusnya, aku bisa menikmati cericit burung burung liar dan tanpa terganggu asap knalpot setiap pagi. Minim resiko stres, minim resiko penuaan dini, minim resiko ancaman bunuh diri akibat kebanyakan tanggung jawab. Namun kelemahannya adalah aku akan semakin dijauhkan dari peradaban.
“Ndhuk, Ibuk pikir ini sudah saatnya. Kamu toh sudah cukup umur untuk menikah. Ya meskipun Ibu tahu, nantinya kalian akan mengalami hubungan jarak jauh. Tetapi bukankah Ranu sangat mencintaimu dan akan tahan dengan kendala apa saja?”
Aku manggut manggut.
“Ndhuk, kamu harus ingat bahwa dulu sapi Eyang banyak yang dikorbankan demi biaya kuliahmu. Apa yang kamu dapat saat ini lahir dari keringat dan air mata mereka, Ndhuk. Apa kamu tega membiarkan masa tua Eyangmu yang sudah sepuh itu terus terusan hidup sebatang kara?”
Lagi, aku manggut manggut.
Bagaimana mungkin logikanya aku yang jauh jauh bersekolah ke kota, mengorbankan banyak hal dan menantang lelah hingga tak mengizinkan mataku terlelap di malam hari demi tugas kuliah kini harus menerima kenyataan untuk kembali ke desa? Bagaimana mungkin aku yang digadang gadang sebagai lulusan terbaik, pernah menjadi duta ini itu, koordinator aksi dengan suara tanpa toa yang telah lantang menyuarakan kebenaran di banyak tempat ini berakhir di dapur mengulek sambel demi hidangan sebelum berangkat ke ladang? Bagaimana mungkin aku yang punya banyak relasi, line, jaringan pertemanan yang kuat ini pada akhirnya akan bergaul dengan manusia manusia yang setiap hari membumi, bergaul dengan lumpur dan cangkul? Bagaimana bisa?.
Aku terdiam saat Ibu kembali mengungkit akan kewajiban mengasihi orang tua.
Sebagai satu satunya cucu perempuan, sebaiknya aku mengalah.
Lalu apakah hidupku yang serba gemerlap oleh lampu kota akan segera redup oleh nyala lampu teplok di sudut bukit gunung yang sunyi?
Lagi lagi ingatan tentang manisnya masa kecilku ketika dimanja Eyang berkelebatan, menari nari.
Seolah menyajikan dua pilihan berat, hidup sejahtera bergelimang gaji atau menabung secuil surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai didampingi tambang emas.
-
“Mas” kuberanikan diri memanggilnya saat dua detik sebelumnya kami saling melepas peluk.
“Iya?” dia menatap mataku dari balik kacamatanya. Ada kesan lelah di sana, mungkin semalaman begadang di perjalanan. Aku masih mencium bau kopi dari bibirnya, semalam pasti dia memaksa bekerja.
“Aku perlu ngomong sesuatu”
Lalu kujabarkan panjang lebar dengan sangat hati hati. Tentang Eyang yang rumahnya telah dipercantik di waktu lalu, mempersiapkan kehidupan cucunya di hari yang akan datang untuk hidup bersamanya. Juga tentang sawah dan ladang luas yang tak terurus, sapi sapi yang kurang makan namun sayang untuk dijual. Pohon pohon kopi dan melinjo yang tak habis berbuah namun tak bisa dipetik karena Eyang sudah terlalu sepuh. Aku menumpahkan segalanya, termasuk egoku untuk tidak meninggalkan impian yang kubangun di tempat lain.
Mata Mas Ranu seolah tak berkedip, lalu perlahan dia melepas kacamatanya.
“Sayang, kuberi tahu sesuatu”
Aku merapat ketika ia menarik jemariku dalam genggamannya, sebuah langkah awal yang biasa dia
lakukan untuk sekedar menenagkan pikiranku.
“Ada hal hal di dunia ini yang tidak akan bisa kembali”
“Ada pula hal hal yang dapat ditunda”
“Ada juga hal hal yang perlu ditinggalkan, Sayang”
Aku diam, Mas Ranu pun diam untuk sesaat.
“Aku rasa, tidak apa apa kamu mengurus Eyangmu di hari tuanya....”
“Tapi Mas, pernikahan kita?” aku memotong cepat. Sudah lima bulan setelah aku resmi lulus dan meneruskan menjadi staf di salah satu perusahaan, aku dan Mas Ranu merancang sebuah pernikahan impian. Mencicil sedikit demi sedikit perabotan di rumah kecil yang telah kami beli sebelumnya juga telah saling menyiapkan berbagai hal termasuk asuransi kesehatan, dana pendidikan, list pondok pesantren yang nantinya dimasuki anak anak kami dan hal hal kecil lainnya termasuk rencana untuk sesegera mungkin pindah ke tempat tinggal impian kami.
“Semuanya akan baik baik saja, Sayang”
Mau tak mau air mataku tumpah. Tiga tahun aku membangun hubungan dengan Mas Ranu dengan jarak yang mengharuskan kami sangat jarang bertemu dan kini, saat sudah sepantasnya aku mendampinginya setiap pagi aku pun harus menelan kenyataan bahwa aku tak bisa menjadi seseorang di belakangnya ketika subuh. Mimpiku hancur seketika. Kurasa kursus memasak tiga bulanku lenyap jika memang aku tak bisa menjadi yang menyajikan sup panas ketika dia sakit atau menjerangkan air untuknya mandi. Nyatanya dia sendiri setuju kalau aku akan kembali ke desa, meninggalkan impian menjadi pengantin baru yang ditunggui suami.
Mas Ranu menggenggam lebih erat jari jariku.
“Bukankah kita sudah lebih dari ahli untuk tidak saling menjaga lewat raga namun hidup dalam setiap doa?”
Tidak, tetapi aku ingin bersamamu Mas.
Aku ini akan menjadi istrimu, seseorang yang akan ikut suaminya kemana dia akan pergi. Bukankah kau lebih berhak aku ibadahi dibandingkan yang lainnya?
Isakku semakin memecah hening di sore itu.
“Sayang, mengurus orang tua tidak akan memupus mimpimu”
Perlahan kutarik jemariku dari genggamannya, meneruskan tangisku dengan khidmat. Aku benci ketika tidak ada satu orang pun yang berada di pihakku, bahkan calon suamiku sendiri.
“Dengan kamu berhenti sebentar dari segala kegiatan yang melelahkan, kamu bisa kembali membangun impianmu yang lain. Kamu bisa mengejar kemampuan menulismu yang terbengkalai, kamu bisa menebar kebaikan dengan mengajar anak anak kecil di sana, kamu juga bisa menjadi orang pertama yang menyalakan lampu teplok di surau dan mengajak ibu ibu di sana menjemput surga dengan mengaji. Tidak ada yang salah dalam skenario Tuhan, Sayang. Semua akan ringan ketika jiwa dan hati kita bisa ikhlas. Eyang hanya akan hidup sekali, dan ini saatnya kamu untuk banyak berbakti. Apa artinya dunia jika dibandingkan dengan pahala akhirat? Dua duanya tidak bisa disamakan, Sayang”
Kutatap matanya, dia mengangguk.
“Setelah hari pernikahan kita, meskipun nantinya aku akan kembali berpisah dengan istriku aku tidak akan kecewa. Karena ia sedang membangun rumah di surga. Aku bisa mengunjungimu sebulan dua kali, bukankah itu lebih dari cukup?”
Dia mengusap anak anak air mata yang masih berada di sekeliling mataku, mengelus bahuku kemudian kembali menggenggamkan jemarinya padaku.
“Eyang akan bangga memiliki cucu sepertimu, dan aku akan menjadi suami paling beruntung karena mendapatkan istri shalihah. Anak anak kita akan mengenal ibunya sebagai wanita paling cantik karena akhlaknya yang baik. Juga semesta akan iri kepadamu, kamu yang bermanfaat”
Aku tersenyum lega, dia tersenyum lebih dalam.
Sore merangkak menjadi malam, dan kami pulang dengan bucket bunga seruni yang kudekap erat di sepanjang perjalanan.
Eyang, aku pulang.
-
Malang
07.26 24 July 2017
(Sebuah perasan pikiran tentang aku yang harus memilih antara karir dan kesempatan berbakti pada Eyang Putri).
Komentar
Posting Komentar